Kamis, 01 September 2011

Tafsir AL-BAQARAH AYAT: 187 (Kapan di Bolehkan dan di Larang Makan dan Minum di Bulan Ramadhan)


05.09 | ,


Pada ayat ini Allah ta’ala menerangkan tentang hal-hal yang dibolehkan dimalam hari bagi orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan, yang merupakan keringanan yang diberikan Allah kepada hamba-hambaNya, di mana sebelumnya (di awal-awal perintah berpuasa) kaum muslimin diperintahkan berpuasa dan mereka dilarang makan, minum dan berjima’ di malam-malam hari berpuasa setelah mereka tidur, lalu diantara mereka ada yang merasa kesulitan sehingga Allah Ta’ala menurunkan FirmanNya… 

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسُُ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ {187}


"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa."(Al-Baqarah: 187). 

Tafsir Ayat : 187 
Pada awal-awal diwajibkannya puasa, kaum muslimin dilarang makan, minum dan berjima' pada malam hari setelah tidur, lalu sebagian mereka merasa kesulitan dengan hal tersebut, kemudian Allah Ta’ala meringankan hal tersebut dengan membolehkan mereka pada malam hari Ramadhan semua perkara itu dari makan, minum maupun berjima' baik setelah tidur maupun sebelumnya, karena mereka tidak dapat menahan nafsu mereka dengan cara meninggalkan beberapa hal yang mereka diperintahkan kepadanya, maka Allah Ta’ala { تَابَ } "mengampuni" { عَلَيْكُمْ } "kamu", yaitu dengan melapangkan perkara itu bagi kalian dan sekiranya bukan karena kelapangan itu, pastilah akan menimbulkan dosa, [ وَعَفَا عَنكُمْ] "dan memberikan maaf kepadamu", apa yang telah berlalu dari perkara tidak mampu menahan nafsu tersebut, { فَاْلآنَ } "maka sekarang" setelah adanya keringanan dan kelapangan dari Allah ini, { بَاشِرُوهُنَّ }"campurilah mereka" berjima', mencium, menyentuh dan sebagainya, { وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ } "dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu", maksudnya, berniatlah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala ketika mencampuri istri-istri kalian, dan maksud yang paling besar dari adanya jima' tersebut adalah mendapatkan keturunan, menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, dan juga memperoleh tujuan nikah. 
Dan apa yang telah ditentukan oleh Allah atas kalian pada Lailatul Qadar yang bertepatan dengan malam-malam bulan puasa Ramadhan, maka seharusnya kalian tidaklah disibukkan oleh kenikmatan tersebut dari malam yang mulia itu dan tidak menyia-nyiakan malam tersebut, karena kenikmatan itu masih dapat diperoleh sedangkan Lailatul Qadar tidak diperoleh setiap waktu. 
{ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ } "Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar" ini adalah batas waktu bagi makan, minum dan berjima', juga apabila ia makan atau minum dengan perasaan ragu tentang terbitnya fajar, maka tidak apa-apa baginya, ayat ini juga merupakan sebuah dalil dianjurkannya sahur dengan adanya perintah dan dianjurkan untuk diakhirkan dengan dasar yang diambil dari arti keringanan dari Allah dan kemudahan yang diberikan olehNya untuk hamba-hambaNya, ayat ini juga sebagai dalil bolehnya meneruskan puasa ketika fajar telah datang sedang ia masih junub dari berbuat jima' sedangkan ia belum mandi dan puasanya tetap sah, karena konsekuensi bolehnya berjima' hingga terbitnya fajar, ia akan mendapati fajar dalam keadaan masih junub, dan konsekuensi kebenaran adalah benar, { ثُمَّ } "kemudian" apabila fajar telah terbit, maka { أَتِمُّوا الصِّيَامَ }"sempurnakanlah puasa itu", yakni menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, { إِلَى الَّيْلِ } "hingga malam" yaitu terbenamnya matahari. Dan ketika bolehnya berjima' pada malam-malam puasa bukanlah secara umum bagi setiap orang, maka seorang yang beri'tikaf tidaklah halal baginya melakukan hal itu, yang telah dikecualikan dalam firmanNya, [ وَلاَ باشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ "Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid", maksudnya, kalian sedang melakukan hal tersebut. 
Ayat ini menunjukkan bahwa i'tikaf itu disyariatkan, dan i'tikaf itu adalah berdiam di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah Ta’ala dan memusatkan perhatian hanya kepadaNya, dan bahwasanya i'tikaf itu tidaklah sah kecuali dalam masjid. Dapat dipahami dari arti masjid di sini adalah masjid yang dipahami oleh mereka, yaitu yang didirikan di dalamnya shalat lima waktu, dan juga bahwa berjima' itu adalah di antara pembatal ibadah i'tikaf. 
Hal-hal yang telah disebutkan di atas itu seperti haramnya makan, minum, berjima' dan semacamnya dari pembatal-pembatal puasa, dan haramnya berbuka karena suatu perkara yang bukan alasan syar'i, haramnya berjima' bagi orang yang melakukan i'tikaf dan semacamnya di antara hal-hal yang diharamkan, { حُدُودُ اللهِ } "itulah larangan Allah" yang telah Allah tetapkan bagi hamba-hamba-Nya dan Dia larang darinya, kemudian Dia berfirman, [فَلاَ تَقْرَبُوهَا ] "Maka janganlah kamu mendekatinya" lebih kuat daripada perkataan "maka janganlah kamu melakukannya", karena kata mendekati itu meliputi larangan dari mengerjakan hal yang diharamkan itu sendiri dan larangan dari sarana-sarana yang menyampaikan kepada hal tersebut. 
Seorang hamba itu diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan menjauh darinya sejauh mungkin yang ia mampu, dan meninggalkan segala sebab yang mengajak kepadanya. Adapun tentang perintah-perintah, Allah berfirman padanya,"itulah ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kamu melampaui batasnya", Allah melarang dari bertindak melampaui batas padanya, {كَذلِكَ } "demikianlah" maksudnya, Allah menjelaskan kepada hamba-hambaNya berkenaan dengan hukum-hukum yang telah berlalu itu dengan penjelasan yang paling sempurna dan menerangkannya dengan keterangan yang paling jelas, [ يُبَيِّنُ اللهُ ءَ ايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ] "Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa", apabila kebenaran telah jelas bagi mereka, niscaya mereka akan mengikutinya, dan apabila kebatilan jelas bagi mereka niscaya mereka akan menjauhinya. Manusia terkadang melakukan hal yang diharamkan karena ketidaktahuannya bahwa hal tersebut adalah haram, namun bila ia mengetahui keharamannya pastilah tidak akan dilakukan, apabila Allah telah menjelaskan ayat-ayatNya kepada manusia, maka tidak ada lagi alasan dan hujjah bagi mereka dengan demikian, hal itu adalah faktor penyebab ketakwaan. 

Pelajaran dari Ayat 
  • Merupakan rahmat Allah terhadap hambaNya, karena telah menasakh (menghapus) hukum pertama (perintah puasa) kepada yang lebih ringan. Dimana diawal-awal perintah puasa adalah apabila mereka telah tidur, atau shalat isya di malam-malam bulan Ramadhan diharamkan atas mereka wanita (berjima’, menciuminya serta bercumbu dengannya), makan dan minum hingga terbenamnya matahari dihari berikutnya; kemudian Allah memberikan keringanan kepada mereka (dengan menurunkan ayat ini) dengan membolehkan hal-hal tersebut hingga waktu fajar. 
  • Bolehnya berbicara dengan ucapan-ucapan yang mengarah kepada (jima’) antara suami istri ketika berpuasa, karena firman Allah ta’ala, “bercampur dengan istri-istri kamu”, yang dimaksud adalah berjima’. Dan hal itu di dukung dengan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sabda beliau. diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium dan bercumbu ketika beliau tengah berpuasa, hanya saja beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya diantara kalian.” (HR. Bukhari, no hadits: 1927 dan Muslim, no hadits: 1106), demikian pula diriwayatkan dari Masruq rahimahullah, ia berkata, Aku bertanya kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, “Apakah yang dihalalkan untuk seorang suami yang sedang berpuasa terhadap istrinya?” beliau menjawab, ‘Segala hal bisa ia lakukan kecuali berjima’. (HR Abdurrazzaq, no hadits: 8439, dengan sanad yang perawinya tsiqat). 
  • Bolehnya seorang laki-laki bersenang-senang dengan istrinya dari sejak ia telah melakukan aqad nikah, sebagaimana ayat, “bercampur dengan istri-istri kamu”selama tidak menyelisihi syarat antara suami dan istri; karena sebagian orang mengira bahwa tidak boleh seseorang bersenang-senang dengan istrinya hingga aqad nikahnya diumumkan –hal ini adalah tidak benar-, 
  • Bahwa seorang istri adalah penutup bagi bagi suaminya demikian pula suami adalah penutup bagi istrinya, dan antara keduanya ada kedekatan yang erat, sebagaimana baju atau pakaian dengan pemakainya; dan dan juga menjaga kemaluan dan kehormatannya, sebagaimana ayat, “mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”. 
  • Penetapan bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa-apa yang ada didalam hati-hati manusia 
  • Bahwa manusia sebagaimana ia dapat menghianati orang lain ia juga dapat menghianati dirinya sendiri, yang demikian itu bahwa apabila seseorang terjerumus dalam kemaksiatan kepada Allah maka hal tersebut adalah termasuk berhianat, dengan demikian hati adalah amanat baginya. 
  • Penetapan sifat menerima taubat, dan memberi ma’af bagi Allah Ta’ala 
  • Penetapan adanya ‘Nash’ (penghapusan hukum) dalam islam, sebagai bantahan bagi mereka yang mengingkari adanya nash ini. Dalam ayat ini sangat jelas disebutkan tentang nash, dalam firmanNya, ‘Maka sekarang campurilah mereka’, yang mana sebelum sekarang adalah tidak dihalalkan (untuk bercampur (jima’) dengan mereka). 
  • Bolehnya bercumbu dengan istri secara muthlaq tanpa adanya taqyid (pengikat); yang dikecualikan darinya ‘menyetubuhi diduburnya, menyetubuhi ketika haid atau nifas’. 
  • Hendaknya seseorang jika bersetubuh dengan pasangannya dengan niatan untuk memperoleh anak, walaupun demikian tidak ada larangan jika ia melakukannya hanya karena untuk memenuhi syahwatnya saja, hal tersebut tidaklah dilarang bahkan hal itu berpahala, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Dan di dalam kemaluan (bersetubuh) salah seorang diantara kalian (kepada istrinya) adalah sodaqah, mereka bertanya wahai rasulullah, apakah salah seorang diantara kami mendatangi istrinya (menunaikan syahwatnya) baginya pahala? Baliau menjawab ‘ya’; bukankah kalau seseorang menunaikan syahwatnya ditempat yang diharamkan atasnya dosa?, mereka menjawab, ya, beliau bersabda, maka demikian pula apabila ia menunaikannya ditempat yang halal, maka baginya pahala.” (HR. muslim). 
  • Bolehnya makan, minum, dan berjima’ di malam hari bulan Ramadhan hingga telah jelas waktu fajar; sebagaimana, ayat: "Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar" . sebagian ulama berdalil dengan ayat tersebut dianjurkannya makan sahur, dan mengakhirkannya. Sebagaimana pula disebutkan dalam hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,“Makan sahurlah kalian karena didalam sahur itu terdapat barakah”, (HR. Bukhari, no 1923, dan Muslim, no 2549). Mengandung barakah dari 5 sisi, yaitu: karena mambantu ketaatan kepada Allah, bentuk pelaksanaan terhadap perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mencontoh terhadap apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena dengan sahur telah mencukupinya dari berbagai makanan dan minuman disiang hari, serta karena makan sahur adalah pembeda antara puasanya kaum muslimin dan puasa kaum ahli kitab. 
  • Bahwa seseorang jika telah nampak kepadanya waktu fajar sedang ia dalam keadaan melakukan jima’ kemudian ia mencabutnya ketika itu juga maka tidak ada kewajiban atasnya menqadha’ puasa, tidak pula membayar kafarat; karena ia memulai jima’nya di waktu yang dibolehkan. Akan tetapi jika ia tetap melanjutkan padahal telah jelas waktu fajar maka hukumnya haram, dan ia berkewajiban menqadha’ puasanya dan membayar kafarat, kecuali kalau ia tidak mengetahuinya (bahwa fajar telah terbit). 
  • Bolehnya seorang yang berpuasa ketika telah masuk waktu subuh dalam keadaan junub, karena Allah Ta’ala membolehkan berjima’ hingga waktu fajar telah jelas, maka hal itu berkonsekwensi bahwa apabila seseorang melakukan jima’ mendekati waktu subuh (di akhir waktu di bolehkannya sahur) ia belum mandi janabah hingga setelah terbitnya fajar. Dan telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memasuki waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari berjima’ dengan istrinya, kemudian beliau berpuasa. (Hr Bukhari, no. 1931, dan Muslim, no. 2589). 
  • Bolehnya makan dan minum serta berjima’ sedang ia dalam keadaan ragu telah masuk waktu fajar atau belum; sebagaiman ayat, ‘hingga terang bagimu’. Maka jika ternyata setelah itu bahwa makan, minum atau jima’nya adalah terjadi setelah waktu fajar maka tidak mengapa (puasanya tetap sah) karena ketidaktahuannya. 
  • Penjelasan tentang kesalahan sebagian para muadzin yang jahil, yang mana mereka melakukan adzan atau menyerukan ‘imsak’ sebelum waktu fajar (subuh) sebagai kehati-hatian (sebagaimana anggapan mereka); karena Allah Ta’ala membolehkan makan, minum dan jima’ hingga telah jelas masuk waktu fajar; demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal adzan diwaktu malam (sebelum fajar) maka makan dan minumlah hingga kalian mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum; karena ia tidaklah adzan kecuali telah terbit fajar.”(Bukhari, no. 617, dan Muslim, no. 2536). Wallahu a’lam, Bersambung insya Allah… 



    Di kumpulkan oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim 
    Sumber Rujukan : 
    1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah 
    2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi. 
    3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)


You Might Also Like :


2 komentar:

Anonim mengatakan...

assalamu'alaikum ustadz..
apakah pemikiran anda ini sudah diresapi dalam-dalam
karena begini,
ayat 187 ini harus dipahami secara utuh tdk dipotong-potong

bahwa pada malam hari dibulan puasa orng beriman dibolehkan untuk berhubungan suami istri dalam rangka untuk mencari apa yg ditetapkan oleh Allah yi berketurunan karena disiang hari suami dan istri sama-sama berpuasa agar dapatkan bibit unggul. kemudian dibolehkan makan dan minum hingga fajar so ndak usah dengan dibangunkan sahur-sahur. kemudian orang beriman tdk dibolehkan mendekati istri mereka lagi karena diwajibkan beriktikaf, so iktikaf siang hari. dan sempurnakan puasa hingga malam, di QS 11:114 maghrib adl sholat di permulaan malam maka buka puasa setelah melaksanakan sholat magrib.

sebagai pemikiran saja ustadz...

wassalamu'alaikum(dan keselamatan atas kamu)

AsbabunNuzul Qur'an mengatakan...

saya hanya ingin berucap terimakasih atas share ilmu nya. semoga berkah,,,
saya jadi terinspirasi untuk ikut menghidupkan al Qur'an di dunia maya. semoga saya bisa istiqomah untuk berbagi tema-tema tulisan berbasis al Qur'an. ini beberapa tulisan yang sudah di posting http://asbabunnuzulquran.blogspot.com/p/daftar-isi.html

Posting Komentar